Dalam banyak kitab dalam Perjanjian Lama kita bertemu dengan pernyataan yang berbunyi “Tuhan itu baik”. Narasi seperti itu dalam berbagai bentuknya yang puitis dan atau prosa liris bisa kita nikmati dalam Kitab Mazmur. Pernyataan itu bukan sekadar mengungkapkan sebuah ‘kebenaran umum’. Bukan pula sebuah pernyataan definitif dan adequat yang tidak perlu lagi dibantah dengan begitu banyak argumen. Pernyataan bahwa “Tuhan itu baik” adalah sebuah pernyataan teologis tentang kesiapaan Allah, semacam ‘kredo standar’ dizaman itu ketika manusia dan bangsa-bangsa lain juga memiliki “Allah” atau allah yang mereka percaya yang berbeda dengan Allah, Yahwe, yang dipercaya umat Israel dizaman itu.
Allah yang dipercaya umat Israel di zaman itu adalah Allah yang telah bertindak dalam sejarah. Bukan Allah yang diam dan bisu, Allah yang apatis dan tak peduli terhadap pergumulan umat. Allah yang dikenal umat Israel adalah Allah Pembebas, Allah Pendamping; Allah yang membebaskan umat dari perhambaan di Mesir dan Allah yang mendampingi mereka dalam sebuah perjalanan panjang di padang gurun untuk memasuki Tanah Perjanjian.
Konotasi kata “baik” pada frasa “Tuhan itu baik” tidak setara dengan kata “baik” pada “kondisi saya baik”. Penyebutan bahwa “Tuhan itu baik” adalah merupakan refleksi dan kulminasi pengalaman teologis umat dengan Allah dalam proses interaksi mereka ditengah zaman. Pernyataan itu sekaligus untuk mengubah adanya pandangan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama itu adalah Allah yang penuh murka dan nir kasih sayang. Orang yang berpandangan seperti itu telah mengalami ketumpulan perspektifnya untuk memahami Allah dalam horison yang lebih luas. Apalagi jika kemudian pandangan itu berujung dengan menyatakan bahwa ada beda antara Allah dalam Perjanjian Lama dengan Allah dalam Perjanjian Baru.
Namun pandangan yang gelap dan tak berdasar itu yang datang dari seorang Uskup Sinope-Asia Kecil bernama Marcion (70-150 M) sudah dibantah secara ilmiah pada abad-abad pertama, dan pandangan Marcion itu tidak menjadi bagian dari teologi Gereja.
Dalam pengalaman konkret kita, kita memang memiliki Allah yang baik. Kebaikan Allah adalah hakikat Allah, kebaikan itu integral dan “built in” pada Allah. KebaikanNya tidak temporer, inkonsisten; kebaikanNya terus menerus dan berlanjut kepada setiap orang tanpa memperhitungkan perilaku dan perbuatan kita sebagai manusia. Perbuatan dan dosa yang kita perbuat tidak pernah mempengaruhi kebaikan Allah kepada kita.
Kitab Nahum menegaskan ulang tentang Allah yang kita imani. Allah itu tempat pengungsian tatkala kita mengalami kesusahan. Allah itu *mengenal* siapa kita yang berlindung kepadaNya. Kata “mengenal”, bhs Ibrani “yada” memiliki makna hubungan intim suami istri. Allah mengenal kita dalam arti tahu detil seluruh keberadaan kita. Kita akan terjamin keamanan kita karena Allah mengenal seluruh kedirian kita. Bencana apapun, termasuk banjir tidak perlu menakutkan kita.
Bahkan semua orang yang melawan Dia dan musuh-musuhNya dihalauNya kedalam gelap. “Gelap” diasosiasikan sebagai kekalahan dan kematian (bdk Yes 8:22; Ayub 5:14), sedangkan “terang” diasosiasikan dengan YHWH(Mzm 27:1:Yes 2:5).
Kita hidup dalam sebuah dunia yang dipenuhi kuasa-kuasa jahat dalam berbagai wujud dan bentuk, baik konvensional maupun modern. Hidup tidak lagi aman, nyaman dan bahagia. Hidup dipenuhi kekuatiran, ketakutan, panik dan traumatik. Dan itu terjadi secara mondial. Firman Allah menyapa kita dengan lembut : “Tuhan itu baik….”
Mari sambut dan kecap kebaikan Allah yang Ia ukir dalam pentas kehidupan kita. Berdoa , Bersyukur dan Bersandar kepadaNya hingga Ia memanggil kita !
Selamat Merayakan Hari Minggu. God Bless.
Oleh: Pdt. Weinata Sairin.