Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Ada banyak orang yang hidup ditengah gemuruh berbagai persoalan dunia dengan aneka keinginan. Ada yang memiliki keinginan positif, cita-cita mulia namun tak jarang dalam kasus tertentu keinginan itu bisa juga cenderung tidak positif. Keragaman budaya, tradisi, etnik, afiliasi politik, ideologi, denominasi/aliran keagamaan, pendidikan bisa memberi pengaruh kuat bagi terbentuknya *keinginan* seseorang.
Bahwa manusia memiliki ‘keinginan’ dalam kehidupannya, tentu merupakan hal yang positif. Artinya ia memahami makna kehadirannya dan makna ‘pengutusannya’ di tengah dunia dengan baik. Manusia diciptakan oleh Tuhan YME untuk berkarya, memelihara dan merawat isi bumi. Itulah pesan sentral agama-agama berkaitan dengan penciptaan manusia. Manusia tidak diciptakan untuk *berdiam diri* atau menjadi penonton/pengamat bagi sebuah dunia yang tengah berkembang. Tidak juga untuk mengeksploitasi secara besar-besaran kan dungan isi bumi seolah mereka tidak punya anak cucu yang memerlukan isi bumi itu pada era mendatang.
Manusia adalah *makhluk yang ditanggungi jawab*. Ia bertanggungjawab atas kelanjutan ciptaan Allah. Ia tak boleh merusaknya, mencemarinya, melahap habis tanpa sisa. Ia mesti merawatnya, menjaga dan melestarikannya.
Pada titik itu terletak tanggungjawab manusia. Manusia harus berupaya agar kehidupan dunia dari zaman ke zaman adalah sebuah kehidupan yang adil damai dan sejahtera sesuai dengan mandat ilahi.
Keinginan manusia harus di arahkan kepada hal-hal yang baik dan positif, dari perspektif agama dan hukum positif. Kenginginan manusia untuk “berdiam diri” atau “membiarkan” atau “apatis” mesti dicegah. Itulah tugas para pemuka agama dan fungsi agama-agama. Pepatah yang dikutip diawak tulisan ini mengingatkan kita adanya tipe manusia dengan berbagai keinginan dan juga yang paradoks dengan hal itu.
Sebagai umat beragama mari kita mengarahkan seluruh keinginan kita, termasuk dibidang politik ke arah hal ysng positif demi kemaslahatan umum.
Selamat berjuang. God bless.