Oleh: Pdt. Weinata Sairin
Pemimpin adalah sosok yang selalu menjadi acuan. Pemimpin adalah figur yang senantiasa menjadi referensi. Hampir seluruh aspek dari kehidupan seorang pemimpin menjadi contoh, menjadi model dan menjadi bahan pembicaraan. Kata-kata, istilah, terminologi yang acap digunakan sang pemimpin digunakan juga oleh banyak orang yang dipimpinnya. Pemikiran, pandangan, sikap seorang pemimpin dalam merespons sebuah persoalan diikuti dengan baik oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Itulah sebabnya pemimpin dalam level/aras tertentu memiliki persyaratan atau kriteria yang cukup sulit. Kriteria itu tidak hanya tentang usia maksimal, kesehatan, pengalaman, tetapi juga kompetensi, rekam jejak, kemampuan bekerja dalam tim, kemampuan bekerja dengan target dan dibawah tekanan.
Walaupun begitu sulit dan cukup ketat jalan yang mesti ditempuh untuk menjadi pemimpin di level apapun dan pemimpin dalam bidang apapun, namun hasrat banyak orang untuk menjadi pemimpin tetap saja banyak dan bahkan berlimpah. Untuk bidang-bidang tertentu yang diperkirakan cukup memberi prospek bagi masa depan seseorang cukup banyak orang yang berkeinginan untuk menjadi pemimpin. Ada juga, dalam bidang-bidang tertentu, pemimpin itu datang dari sebuah ‘kubu” yang sama, dari lingkar primordial yang sama. Misalnya ketika sang suami selesai kepemimpinannya disuatu bidang bisa saja kemudian istri atau anaknya maju lagi untuk menjadi pemimpin. Bisa juga terjadi bukan istri atau anak tetapi adik, kakak atau saudara yang lain.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan prihatin kita mendengar, menyaksikan bahwa para pemimpin kita sebagian besar *gagal* untuk memberi teladan sebagai pemimpin. Para ahli dan pengamat malah menegaskan bahwa negeri ini mengalami *krisis kepemimpinan*. Para pemimpin pada level apapun tidak mampu menampilkan citra kepemimpinan yang positif yang bisa diteladani. Pejabat di level tertinggi kementerian, pejabat eselon 1, petinggi partai, wakil rakyat, tokoh masyarakat kesemuanya dipanggil KPK dan ujungnya harus menikmati ruang-ruang dibalik terali besi. Kursi kepemimpinan lebih dimaknai untuk mencari kuasa dan keuntungan multi dimensi, tidak dalam konteks untuk melayani rakyat/customer/konstituen dan atau dedikasi bagi negeri tercinta. Menjadi pemimpin sebagai amanah hanya sebatas retorika dan pengambilan sumpah dengan di dampingi rohaniwan hanya seremoni formalisme dan dalam praktek hal itu tidak mampu menghadang hasrat berkorupsi.
Jika ajaran agama benar-benar dihayati dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata oleh setiap umat beragama maka hasrat berkorupsi akan makin hilang tergerus perbuatan baik. Ajaran agama harus jadi pemandu umat dalam menjalankan khidupan; ajaran agama harus menjadi roh yang mempersatukan seluruh warga bangsa dalam realitasnya yang majemuk. Para pemimpin kita yang beragama secara utuh penuh, kafah, kita pastikan akan menampilkan teladan yang positif bagi masyarakar luas.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.