FORTIS CADERE, CEDERE NON POTEST: YANG BERANI MEMANG DAPAT JATUH, TETAPI DIA TIDAK PERNAH AKAN MUNDUR

0
1998

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

 

Kata *berani* sudah lama sekali kita kenal, bahkan sebelum kita masuk sekolah mengikuti proses pembela pembelajaran. Orang tua kita berkata “Jadi anak lelaki harus berani, masa luka sedikit saja sudah menangis!” Pada masa kecil kita acap kena benda tajam, misalnya pisau atau jarum. Ketika tangan kita kena pisau atau jarum dan mengeluarkan darah, secara refleks  kita menjerit karena kaget melihat darah yang  tercucur. Nah saat itulah terucap kata-kata orang tua yang memberi pengingatan dari aspek gender.

 

Pada zaman itu kesadaran gender belum semaju seperti sekarang ini, hanya secara ‘konvensional’ orang tua kita amat faham bahwa kapasitas perempuan dan laki-laki itu berbeda. Laki-laki mestinya lebih kuat, tidak cengeng, pemberani sedangkan perempuan adalah sosok lembut, acap lebih halus perasaan dan tutur katanya walau dalam menghadapi masalah berat cepat mengeluarkan air mata.

 

Ketika kita makin dewasa dan memasuki dunia pendidikan, kita makin memahami secara lebih luas makna kata “berani”. Di sekolah kita diajarkan peribahasa “Berani karena benar takut karena salah”. Namun kemudian begitu banyak tafsir kata “berani”yang berkembang dalam masyarakat modern yang memiliki konotasi berbeda dengan makna standar. “Berani” lebih dimaknai sebagai sebuah tindakan fisik atau non fisik tanpa mempedulikan kaidah hukum dan nilai agama.

 

Dalam perspektif agama-agama, tindakan berani yang dilakukan oleh seseorang mesti berbasis pada keyakinan agamanya, bukan pada dasar yang lain apalagi yang bertentangan secara diametral dengan ajaran agama dan atau melawan hukum. Keberanian bukan hanya soal fisik, stamina, tetapi juga dasar hukum, pendasaran teologi dan niat, hati. Menurut literatur, kata “berani”yang dalam bahasa Inggris  “courage” memiliki keterkaitan dengan kata *cor* (Latin) yang berarti ‘jantung’ dan kata Perancis *corage* yang berarti ‘hati dan jiwa’. Itulah sebabnya keberanian bukan hanya soal fisik tapi soal hati, jiwa, hal-hal terdalam dari kedirian manusia. Aristoteles benar tatkala ia berkata bahwa “kemampuan mengalahkan rasa takut adalah awal dari kebijaksanaan”.

Baca juga  Menunggu Implementasi Hukum Yang Nyata dari Negara Terhadap PT.Smelting yang Melanggar Undang-Undang

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal surat ini memberikan pengingatan bahwa orang yang berani bisa saja *jatuh*, gagal, tidak berhasil tetapi ia tidak pernah akan mundur. Kita warga bangsa ini, seluruhnya adalah orang-orang beragama karena NKRI adalah negara beragama dalam arti seluruh warganya memeluk sesuatu agama. Tidak ada orang yang atheis atau kafir dinegeri ini apapun agama yang kita anut. Oleh karena itu kita semua adalah orang-orang yang berani, berani menyatakan kebenaran, berani berkata jujur, berani membongkar kasus korupsi dan berani untuk berhenti berkorupsi bagi warga bangsa yang terlibat dalam berkorupsi, berani mengurbankan jiwa untuk mempertahankan Pancasila dan UUD NRI.1945.

 

Mari melakukan tindakan berani demi kemaslahatan seluruh warga bangsa.

Selamat Berjuang! God Bless.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here