Semakin Kacau-Balaunya Keadaan Negara Indonesia: Kita Masih Kaya Dalam Segala-galanya Namun Semakin Miskin Dalam Rasa Malu dan Harga Diri

0
592

Oleh: Humala Oppusunggu

 

Seperti disimpulkan dalam paragraf Penutup dari buku baru ‘Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan’  tulisan Kwik Kian Gie: ‘Indonesia sekarang relatif lebih makmur ketimbang pada zaman penjajahan, semuanya dengan hutang dan dengan pengurasan potensi apa saja, tapi untuk generasi sekarang saja. Dan lebih makmurnya itu hanya buat lapisan teratas dari bangsa kita. Bagian terbesar dari rakyat kita yang masih miskin tidak mengalami perbaikan nasib sejak zaman penjajahan. Alangkah dosanya dan tidak bertanggung jawabnya kita terhadap arwah para pahlawan kita dan terhadap generasi mendatang!’            

                                         

Kutipan ini menyimpulkan kenyataan riil yang tak terbantahkan, bahwa kesenjangan kekayaan dan kesejahteraan antara ‘the haves and the have-nots’ bangsa kita, justru  semakin melebar pesat hingga hari ini dan sekaligus dan secara implicit menandaskan pula, bahwa selama ini  para Presiden kita, lebih-lebih lagi Presiden Jokowi tidak mau-tahu tentang semakin kentara menonjolnya malapetaka kesenjangan tersebut tadi.

 

Mengapa Indonesia yang kaya raya dalam sumber daya produksinya di berbagai bidang pembangunan ekonominya, bisa tertinggal dari Negara-negara lainnya  di Asia ini? Rakyat miskinnya –kita lihat dengan gamblang -semakin tinggal melarat! Tidak bisa kita katakan, bahwa kesalahannya terletak pada bobroknya pimpinan kita per se. Dalam hubungan ini, harus kita bedakan Pimpinan-makro dariPimpinan-mikro. Pimpinan-makro meliputi pimpinan tertinggi keseluruhan Negara dan Bangsa, sedang Pimpinan-mikro mengacu pada pimpinan bagian-bagian individual dari Negara dan Bangsa tersebut.

 

Indonesia justru unggul dan kaya raya memiliki Pimpinan-mikro yang sangat terdidik, sangat handal dan sangat kompeten. Tapi sangat menyedihkan, bahwa yang merusak dan mengacau-balaukan hidup-makro bangsa kita adalah para pimpinan-makro Negara Indonesia. Jiwa merusak dan mengacau-balaukan hidup-makro tersebut mereka langsungkan tanpa rasa malu dan tanpa harga diri.

 

Pimpinan-makro di Indonesia seperti berlaku di Negara lain manapun adalah Pimpinan Tertinggi Negara sebagai termaktub dalamTRIAS POLITICA.

 

Trias politica mengandung model pemisahan tugas kewajiban di antara para pimpinan-makro. Dalam model tersebut pemegang kuasa tertinggi tertinggi tadi terbagi dalam tiga Instansi atau Lembaga masing-masing : (i) Pemerintah (instansi  eksekutif Pemerintah yang diatur berdasarkan Undang-Undang, (ii) Legislatif (instansi perumus perundang-undangan Negara tsb tadi dan (iii) Yudikatif (instansi yang menegakkan dan  mengawasi  serta  mengadili pelanggaran atas perundang-undangan tadi).                   

                                                                             

Tugas kewajiban masing-masing Lembaga tadi, terpisah dan mandiri dalam pengertian tidak boleh mencampuri atau mengambil oper tugas kewajiban (kuasa dan tanggung jawab) dari masing-masing Lembaga. Prinsip Trias Politica megandung ‘built-in’ check and balance supaya jangan terjadi ‘conflict of interest’, konsentrasi  kuasa  berlebihan atau tumpang tindih antara ketiga macam tugas kewajiban yang terpisah tadi. Adalah tugas kewajiban Presiden sendiri untuk bertindak sebagai Pemimpin-makro Negara dan Bangsa untuk mengintegrasikan kesatuan dari ketiga Instansi termaktub tadi, untuk menjaga prinsip Trias Politica tadi tetap terjaga supaya ditaati masing-masing Instansi.

 

Jika pimpinan-makro dari  Presiden dan dari ketiga  Lembaga  terrtinggi tadi kacau, maka otomatis hidup Negara dan bangsa sekaligus akan kacau-balau juga.

 

  1. Ketidak Becusan dan Penyelewengan Tugas-Tugas Pimpinan Instansi DPR.

 

Dalam waktu yang lampau kami sudah berkali-kali mengulas dan membuktikan secara syah dan meyakinkan, bahwa DPR-lah Lembaga yang tanpa malu paling kejam mengkhianati prinsip Trias Polica tsb di atas tadi. Campur tangan DPR dalam tugas kewajiban instansi Pemerintah sudah sedemikian luasnya,  sehingga menyepelekan dan justru melecehkan saja tugas hakiki legislatifnya. Justru  DPR sendiri merumuskan sesukanya dan secara sepihak bahwa –tanpa kecuali– semua Kementerian-Kementerian dari Kabinet  raksasa Presiden Jokowi, SBY atau  Soeharto- oleh DPR dirumumuskan dan dibagi-bagi untuk dimasukkan menjadi  pasangan-kerja dari masing-masing ke-11 Komisi-Komisi yang ada di DPR.

 

Misalnya, Pasangan Kerja Komisi XI DPR, terdiri dari

 

* Departemen Keuangan
* Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan/Kepala BAPPENAS
* Bank Indonesia
* Perbankan danLembaga Keuangan Bukan Bank
* Badan Peengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
* Badan Pusat Statistik
* Setjen BPK RI

 

Apa tujuan DPR menciptakan ketujuh Lembaga instansi Pemerintah di atas ini –seperti halnya juga dengan Kementerian-Kementerian lainnya dalam Kabninet-  menjadi Pasangan Kerja dari Komisi XI DPR? Bukan supaya  Pasangan Kerja bersangkutan membantu DPR dalam perumusan Undang-Undang bagi ke-7 Pasangan Kerja tercantum di atas tadi, tapi melulu dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk DPR mencampur-tangani tugas eksekutif Kementerian atau lembaga-lembaga Eksekutif tadi …dengan maksud supaya bersama-sama  dapat bersama-sama melakukan ‘KKN’ saja.

Baca juga  Mengapa Mesti Jokowi?

 

Padahal, berdasarkan Trias Politica tidak ada arti dari dan tidak boleh pula menghubung-hubungkan tugas hakiki dari eksekutif Pemerintah dengan tugas legislatif DPR. … dan aneh bin durhaka luar-binasa-  mengapa Pemerintah sendiri menerima begitu saja dan mematuhi gagasan sepihak ketentuan dari DPR  tadi, tanpa menyadari bahwa pemberlakuan Pasangan Kerja tadi melulu rumusan akal-akalan DPR saja.

 

Dapat pula dengan mudah dimengerti, mengapa DPR sekarang ini terus saja keparat dan tanpa malu- menipu diri sendiri dengan meneruskan kegiatan-tipuan mereka untuk melakukan studi-banding ke negara-negara maju, Padahal tujuannya untuk melancong saja bersama keluarga atas biaya DPR. Membuang-buang waktu dan biaya untuk melancong tadi cukup tersedia … Bila kita perhatikan siaran televisi, umumnya rapat-rapat DPR dihadiri oleh hanya 34—35% anggota DPR saja.

 

Dengan bebasnya mencampuri dan mengawasi tugas-tugas Eksekutif, maka oknum-oknum Komisi-Komisi DPR –seperti Nazaruddin, Dr. Soetan Bathugana, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh,  bahkan Andi Mallarangeng dll dari Pemerintah  gampang sekali melakukan KKN dan korupsi besar-besaran dengan memperalat Partner-Kerjanya.

 

Sudah gaji dan tunjangan lain serta 5-D (Datang, Daftar, Duduk, Diam dan (terima) Duit, DPR –tanpa rasa malu- DPR dengan sengaja mencaplok pula tugas APBN Pemerintah dan menodai U.U. Dasar 45 dengan mencantumkan didalamnya bahwa hak anggaran adalah tugas hakiki dari DPR. DPR sendiri menciptakan BANGGAR sebagai Badan Pelengkap dari DPR,.. lagi-lagi untuk mengambil oper dan turut menentukan alokasi anggaran Pengeluaran APBN-nya Instansi Pemerintah. Dalam hubungan ini, melalui BANGGAR, DPR merumuskan alokasi Pengeluaran APBN, termasuk alokasi dana untuk memenuhi aspirasi-rakyat bagi keperluan pembangunan di daerah-daerah yang sedianya tugas Eksekutif Bappenas sendiri.

 

DPR perrnah mengusulkan supaya perkantoran DPR dewasa ini yang dianggap kurang repreentantif dan oleh karenanya harus diganti dengan bangunan  luks dan modern aduhai, lengkap dengan peralatan paling modern, ‘Library of Congress’, swimming pool, bahkan diusulkan pula kenaikan gaji bagi rusa-rusa yang dipelihara di pekarangan DPR. Dll dll. lubang pencopetan uang APBN oleh DPR.SEMUANYA BERLANGSUNG TANPA RASA MALU DAN HARGA DIRI SEDIKITPUN.

 

Yang akhir-akhir ini juga paling memuakkan dan menjijikkan adalah berita dalam Kompas -15 Juli 2016- tentang Rapat Kerja Komisi XI DPR  -tanggal 14-7-2016- dengan pihak Pemerintah, terdiri dari 1. Gubernur BI, Agus Martowardoyo, 2.Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri/Kepala Bappenas, Sofjan Djalil, Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin dalam rangka membahas ‘kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2017’. Lagi-lagi pelanggaran Trias Politica, baik oleh  DPR apalagi oleh petinggi-petinggi eksekutif Pemerintah yang tanpa rasa malu dan harga diri bersedia menuruti undangan  rapat di DPR.  Apa-apaan, Komisi (-Ekonomi) DPR dan Rekan Kerjanya tadi membahas masalah yang bukan masalah bagi perekonomian Indonesia? Sebab, tidak ada sama sekali hubungan antara struktur ekonomi dan kebijakan fiskal. Lagi pula baik Komisi XI, maupun pejabat tinggi Eksekutif Pemerintah yang hadir tsb tadi –tanpa kecuali- buta huruf saja mengenai teori dan hukum-ekonomi yang berlaku antara structural-macro-economy dan fiscal policy. Dan memang tidak mungkin ada follow-up action sebagai hasil dari Rapat Kerja tsb. Baik DPR maupun Menteri-Menteri yang menghadiri Rapat tadi sama-sama menipu diri sendiri seolah-olah mengupas dan hendak merumuskan solusi bagi penyelesaian masalah ekonomi Negara yang sedang menimpa rakyat sekarang ini. Padahal, Rapat Kerja tadi melulu sandiwara DPR belaka untuk mempertontonkan penerapan gagasan DPR untuk mencampur-tangani tugas-tugas eksekutif Pemerintah.

 

Bobroknya pimpinan-makro dari DPR terpulang pada bobroknya keahlian hakiki khusus dari DPR untuk merumuskan perundang-undangan. Bobroknya keahlian tsb tidak lain dan tak bukan terletak pada sistem pencalonan anggota DPR oleh Partai Politik yang bukan diletakkan pada kecendekiaan legislatif tok, tapi melulu pada kekayaan seseorang untuk menguangi Partainya  demi kemenangan Partai untuk memperoleh  kursi sebanyak mungkin bagi calonnya untuk duduk di DPR. Asal uangnya banyak seniman atau “bandit” sekalipun bisa menjadi calon jadi, Dan ternyata, tidak ada anggota DPR yang dari sononya sudah kaya, masih tetap tinggal  rakus sekali untuk membanditi uang rakyat-APBN.  Itulah sebabnya, mengapa kami berulang-ulang kali mengusulkan supaya budaya kerakusan banditry DPR ini dihilangkan dengan menyederhanakan jumlah Partai Politik menjadi dua saja, yakni Partai Politik Persaudaraan Islam dan Partai Kebangsaan Toleran. Perlu juga mempertimbangkan pengurangan jumlah 550 keanggotraan DPR sekarang ini dikurangi menjadi setengah saja. Dengan demikian bisa dihilangkan budaya kerakusan membanditi uang Negara, sambil memupuk budaya memperbesar savings Negara bagi investasi Negara, yang sangat terbengkalai selama ini. Sekaligus dihilangkan pula budaya bagi-bagi kursi Kabinet, yang dijalankan Presiden yang didorong oleh mimpinya untuk dipilih Partai-Partai Politik untuk kedua kalinya.

Baca juga  Penyusunan Menteri Kabinet 2019-2014 Di Hari Santri Nasional 2019

 

  1. Ketidaki Becusan dan Penyelewengan Pimpinan Jokowi atas ke-Presiden-an dan Kabinetnya.

 

  1. Presiden Jokowi.

 

Perkantoran Kepresidenan diciptakan lengkap dengan staf pembantu ala Menteri melakukan pekerjaan-sekretariat untuk kehidupan pribadi dari Pres. Jokowi.

 

Sebagai pimpinan-makro tertinggi negara dan bangsa, Presiden Jokowi  bak sungai sedianya harus piawai menyalurkan dan mengawasi air sungai baik bagi eksekutif Pemerintah alias Kabinetnya, maupun air DPR dan air Yudikatif ke tujuan dan arah yang jelas dan tepat. Namun, kenyataan memperlihatkan bahwa penyaluran air-kepemimpinan Pres. Jokowi tadi tidak jelas dan tidak tepat juntrungannya, lebih-lebih mengenai pimpinan umum kepresidenannya sendiri maupun kepemimpinan Kabinetnya.

 

Presiden Jokowi menganggap enteng saja catatannya menjelang akhir 2015 tentang keterlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang dianggapnya gejala dinamika sesaat saja, sebab –kata Presiden, pertumbuhan tsb akan meroket pada 2016, karena kita sudah mulai berinvestasi membangun besar-besaran  infrastruktur perekonomian. Pres. Jokowi memberi prioritas perdana dan utama untuk membangun proyek investasi raksasa seperti penciptaan bullet train Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya di samping telah tersedianya sekarang ini pengoperasian kereta api expres dan modern. Pres. Jokowi bermimpi membangun jalan-tol trans Sumatra dan trans Sulawesi, tenaga listrik besar-besaran, dsb dsb.

 

Memang Pres. Jokowi mempertontonkan kehebatan jati- dirinya dan tingginya cita-cita dan mimpinya yang digantungkannya ke ‘bintang-bintang di angkasa’menuruti ajaran Bung Karno yang -kata Pres. Jokowi- adalah gurunya. Makanya, semua rencana investasi Pres. Jokowi tadi berbau investasi mercu suar ala Pres. Soekarno, yang justru menjadi sebab utama melengserkan Soekarno dari pimpinannya.

 

Pres. Jokowi memang  mempertontonkan kejujurannya sebagai satu-satunya pimpinan negara di dunia yang paling jujur dan ikhlas dalam melakukan blusukan, terjun ke bawah-bawah untuk memperlihatkan betapa kayanya rasa dekat dan harga diri dari sang Presiden kita ini untuk menyaksikan sendiri hidup dan nasib kaum miskin. Tidak ada duanya  di seluruh dunia. Namun demikian, politik-blusukan Pres. Jokowi tsb ternyata showmanship dan sandiwara saja, karena show-nya sama sekali tidak disertai oleh follow-up action yang bertujuan dan mengarah pada perubahan dan perbaikan nasib miskin rakyat kecil. Apa dasarnya bagi Pres. Jokowi memberikan prioritas utama pada infrastruktur?  Memang pembangunan infra-struktur tadi akan menyerap jutaan tenaga kerja rakyat miskin. Tapi, apa gunanya infrastruktur tadi, karena sia-sia belaka programnya bila proyek-proyek produksi sektor riil tidak dibangun bersamaan. Pasti infrastruktur dimaksud akan tinggal terbengkalai dan nongkrong melulu. Ini berarti bahwa Pres. Jokowi hendak menempatkan sapinya dibelang dan bukan dimuka keretanya. Dan bukan segampang dan sembarang omong dan showmanship saja, Berdirinya proyek-proyek infrastruktur dan proyek-proyek pembangunan sektor riil yang menggunakan fasilitas infrastruktur tadi harus didahului oleh keharusan mempersiapkan terlebih dahulu studi kelayakan (feasibility studies) dari proyek-proyek investasi yang tersusun dalam sebuah rumusan ‘Perencanaan Pembangunan Ekonomi. Feasibility studies tsb tidak pernah menjadi keharusan. Dan juga tidak pernah dipikirkan di mana sumber dana investasi pembangunan yang direncanakan. Sekalipun kantor BAPPENAS yang megah serta Menterinya sudah puluhan tahun berada di tempat, namun pimpinan Pres. Jokowi sama sekali gagal menyalurkan Bappenas bagi tujuan Perencanaan Pembangunan Ekonomi  dan oleh karenanya seluruh staf Bappenas tinggal menikmati gaji-buta belaka karena semua -Menteri / Ketua Bappenas dan jajaran pimpinnya buta-hornop saja mengenai teori-perencanaan pembangunan ekonomi. Kami selama ini terus-terusan mengusulkan supaya Pres. Jokowi dan para pendahunya pun memintakan bantuan dari United Nations untuk menyediakan seorang ahli perencanaan pembangunan ekonomi.

Baca juga  Indonesia 'Penyelamat' Ekonomi Dunia Pasca Resesi?

 

Begitu juga, kita memerlukan bantuan dari PBB atau dari World Bank untuk menyediakan ahli moneter ke-Bank Sentral-an, karena selama ini juga Bank Indonesia tidak pernah memiliki keahlian tsb. Gubernur BI selama ini hanya ahli perbankan mikro dan menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang BI abal-abal belaka (UU No 23, 1999). Keahlian perencanaan dan moneter yang dikemukakan tadi merupakan ‘sine qua non’ bagi pembangunan ekonomi.

 

Kita sering menjadi juara digelanggang olimpiade-science internasional. Mengapa juara-juara bangsa kita tsb tidak dipilih Presiden untuk belajar ke luar negeri supaya menjadi kader ahli dalam berbagai bidang, termasuk perencanaan sector riil ekonomi dan sektor moneter?!?

 

Dapat disimpulkan secara singkat, bahwa pimpinan-makro dari Pres. Jokowi memperlihatkan keahlian-blusukan belaka tanpa diikuti oleh keahlian dalam melaksanakan follow-up action dari blusukannya.

 

  1. Kabinet Jokowi.

 

Sebagai pimpinan-makro atas Kabinetnya, Pres.Jokowi gagal total menampilkan Kabinet yang mampu memimpin dan menciptakan perbaikan atas nasib dan hidup rakyat kecil, yang justru semakin melarat selama dua tahun pimpinnya belakangan ini saja, apalagi dalam pimpinan-makronya Jilid II nanti. Dalam hubungan ini, Pres. Jokowi melulu menyontek Kabinet raksasa ala Pres. SBY dan Pres. Soeharto.  Menko, Menteri dan Staf Pimpinan Setara dengan  Menteri berjumlah 40 orang, dibandingkan dengan 14 Menteri –tanpa Menko-Menko-an- di USA. Yang dipentingkan Pres. Jokowi hanyalah Bironya, bukan Krasi=Pimpinan-Makro dari Menteri bersangkutan. Biro-Menko lengkap dengan perkantoran mewah dan staf pembantu pribadi Menteri. Akan tetapi, tidak ada satupun Menteri Koordinator yang  melakukan koordinasi atas pekerjaan Menteri-Menteri yang disebut ‘dibawahi’ Menko. Aneh bin durhaka, dalam kenyataanya, masing-masing Menko bertindak sebagai Juru-Bicara ala Jurubicara Kepresidenan Johan Budi saja dan sama sekali bukan berdasarkan hasil koordinasi Menko dari Kementerian-Kementerian yang dibawahi Menko. Ini berarti, bahwa jabatan Menko melulu mubazir belaka, tapi diberi gaji buta, yang pada gilirannya menjadi mubazir belaka.

 

Pembludakan jumlah Kementerian dan Menteri Kabinet tadi adalah konsekuensi dari kebudayaan-bagi-bagi-kursi-Menteri untuk para pendukung Presiden, entah apa arti dukungan tadi. Ada Kementerian-Kementerian yang mubazir atau  tumpang tindih kinerjanya, atau Kementerian dciptakan asal-asalan saja, asalkan Partai Politik Pendukung-Presiden merasa senang karena dikut-sertakan menjalankan kuat-kuasa pemerintahan di Negara ini.

 

Alhasil, semua, ya semua Menko-Menko dan Menteri-Menteri dalam Kabinet Jokowi tidak ada rasa malu dan harga diri menduduki kursi Mentereng dari Menteri, sekalipun pimpinan-makronya omong-kosong dan melempem belaka.

 

  1. Kelemahan  Kemimpinan Yudikatif.

 

Kenyataannya, instansi Yudikatiflah yang relatif  jauh kecil kelemahan Pimpiman-makronya di Negara ini ketimbang pimpinan instansi Pemerintah atau DPR. Memang  pimpinan Yudikatif berjalan normal-normal saja tanpa keluhan-keluhan berarti dari pihak manapun. Walaupun ada keluhan mengenai rekening-gendut dari petinggi-petinggi Kepolisian dan korupsi besar dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang digantikan oleh mantan Ketua Mahfud MD, tapi pada dasarnya tidak mengganggu effektifnya jalan penegakan hukum di negeri kita.

 

Kesimpulan.

 

Kemarin, 27-7-2016, Pres. Jokowi mengumumkan  prerogatifnya me-reshuffle Kabinetnya. Akan adakah pembaruan dari reshuffle tsb? Sama sekali tidak! Sebab reshuffle tsb cosmetics belaka. Ada memang perubahan dan pembaruan, namun dampaknya minim dan untuk sesaat saja. Karena yang baru bersangkutan tsb lekas menua dan usang. Sebab yang murni baru itu bukan terdiri dari unsur-unsur yang kita anggap terbaik dari kejadian yang lama. Justru yang baru itu lahir dan timbul dari matinya yang lama itu.  Bukan yang lama itu yang menciptakan pembaruan. Kepemimpinan lama  yang menua itu harus kita hilangkan. Tidak boleh kita lama-ma sampai tua-bangka membiarkan kebudayaan-banditry menguasai DPR. Tidak boleh kita langsungkan budaya pembagi-bagian  kursi Menteri untuk menyenangkan Partai-Partai Politik pendukung. Kita harus menciptakan yang baru itu berdasarkan kejujuran dan moral tinggi yang memang tidak pernah menua dan usang hidupnya: kasih, kejujuran dan keikhlasan berkorban bukan untuk kepentingan diri kita ,tapi bagi kepentingan rakyat yang menderita. Itulah jalan pembaruan baka yang tidak pernah menua.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here