Oleh: Pdt. Gomar Gultom, M.Th
Kebangkitan Nasional itu dimulai dari Gedung STOVIA, dari dunia pendidikan tinggi ketika itu. Ketika perjuangan suku-suku dan daerah melawan penjajahan dinilai tidak efektif dan bahkan stagnan, tampillah barisan mahasiswa dengan terobosannya: nasionalisme yang melampaui sekat-sekat etnis, wilayah dan pendekatan sektarian lainnya.
Kebangkitan sebuah bangsa memang tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan. Itu sebabnya kekristenan selalu menempatkan pendidikan dalam skala prioritasnya. Saya meragukan kecurigaan sementara pihak, yang menilai bahwa kekristenan menjadikan pendidikan melulu sebagai entry point bagi sebuah proses kristenisasi. Walau mungkin pada kurun tertentu–atau bahkan mungkin kini oleh kelompok tertentu–pendekatan seperti itu diterapkan, saya tetap menilai bahwa pendidikan menjadi prioritas bagi gereja bukanlah soal terkait dengan survivalnya gereja, apalagi menjadi sekedar entry point.
Melalui pendidikanlah seseorang dimanusiakan, dengan menyadari diri dan sekitarnya. Sang Guru sendirilah yang memulai tugas pendidikan itu. Narasi Injil mengungkapkan, Sang Guru keliling dari desa ke desa untuk mengajar banyak orang. Dia adalah guru yang agung, yang pengajarannya memukau ribuan orang. Tak terbersit di situ upaya untuk “merekrut” orang, apalagi untuk pindah agama.
Narasi kitab Injil juga berkali-kali menyebutkan, Sang Guru menjalankan pelayanannya dalam tiga hal menonjol: mengajar, menyembuhkan orang sakit dan berkotbah. Saya kira itu juga sebabnya, sejarah pekabaran Injil meneruskan ketiga pelayanan tersebut secara simultan. Sejarah mencatat, dimana pos perkabaran Injil berdiri, pada saat yang sama di sana berdiri sekolah, balai pengobatan dan ruang ibadah. Itulah esensi gereja yang sebenarnya. Dan lewat ketiga dimensi itu juga terlihat peran transformatif gereja yang menyejarah itu.
Dan gereja meneruskan tradisi itu, hingga kini. Tugas mengajar diteruskan lewat katekisasi, tugas menyembuhkan diteruskan dengan konseling dan tugas berkotbah diteruskan dengan adanya mimbar.
Pertanyaannya adalah, pertama: apakah pelayanan pendidikan itu kini cukup hanya dalam bentuk kehadiran kelas katekisasi, dan menyerahkan selebihnya kepada negara? Dan kedua: ketika gereja masih melayankan pendidikan dalam bentuk sekolah kristen, apakah itu masih dalam terang pelayanan atau sudah menjadi komoditi dagang?
Dalam terang itulah MPK dan PGI menyelenggarakan Konsultasi Nasional Gereja dan Pendidikan, 19-21 Mei 2016 di Surabaya. Konas ini diharapkan akan membicarakan, antara lain:
– bagaimana gereja dan sekolah kristen ikut serta dalam menciptakan gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh negara;
– bagaimana memperbanyak dan meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini dan guru sekolah minggu;
– bagaimana memperlengkapi para pengurus yayasan, kepala sekolah, guru dan orangtua murid sesuai dengan panggilan dan peran masing-masing;
– bagaimana mendorong dan menggerakkan anak-anak muda agar sedia menjadi guru, terutama menjadi volunteer, untuk jangka pendek maupun panjang; dan
– upaya menggalang dana pendidikan dan memberdayakan sekolah-sekolah kristen yang ada.
Konas ini diikuti oleh 280 peserta dari unsur pimpinan gereja dan lembaga-lembaga pendidikan kristen (TK hingga sekolah menengah). Selamat berkonsultasi!
Penulis adalah Sekretaris Umum PGI