Baktinendra Prawiro, M.Sc., M.H.,: Sudah Saatnya Pemuda Kristen Tampil Kembali Sebagai Motivator, Dinamisator, Katalisator, Inovator dan Evaluator Pembangunan Bangsa dan Transformator Bangsa!

0
1456

Oleh: Hotben Lingga, Jakarta, Suarakristen.com.

Baktinendra Prawiro, M.Sc., M.H
Baktinendra Prawiro, M.Sc., M.H

“Pemuda Kristen harus mempersiapkam dirinya sendiri dan harus dipersiapkan Gereja juga menjadi pemimpin-pemimpin di semua lini dan bidang strategis, harus berjuang menjadi pelaku-pelaku historis, penentu dan penggerak  sebuah zaman. Pemuda Kristen harus selalu bisa berperan aktif dan strategis dalam proses pembangunan nasional dan transformasi bangsa.  Dengan semangat sebagai abdi dan duta Kristus,  sebagai abdi masyarakat sipil dan abdi negara,  serta semangat sebagai terang dan garam bangsa, maka pemuda-pemuda Kristen bisa mewarnai dan mempengaruhi sebuah komunitas dan sebuah zaman.

Maka kearah pembentukan kepribadian yang etis, perduli, kompeten dan berkarakter penuh integritas inilah organisasi-organisasi keumatan / kepemudaan Kristen perlu mengarahkan program-program organisasi dan kaderisasi-nya. Supaya kader-kader muda Kristen mampu untuk ambil bagian dalam proses pembangunan bangsa dan transformasi masyarakat, tidak sekedar bersikap apatis dan mengikut arus. Di saat-saat kritis, di persimpangan jalan, pemuda Kristen diharapkan menjadi anak muda calon pemimpin bangsa yang dapat diandalkan. Bukan bagian dari kelompok pemuda RADIKAL, yang ingin merombak dan menata ulang, tanpa memikirkan konsekuensi nyatanya. Juga bukan bagian dari generasi SINIKAL, yang acuh tak acuh dan kurang perduli, beranggapan tidak ada apapun yang bisa merubah keadaan, termasuk tidak juga diri mereka. Akan tetapi jadilah pemuda yang FILIAL, atau berbakti kepada orang-tua, alma-mater, gereja dan bangsa-negara Indonesia. Angkatan muda yang “Fides et Ratio” (Iman & Akal Budi) ditumbuhkan dan diasah secara seimbang.”demikian disampaikan Baktinendra Prawiro, M.Sc., M.H., Ketua Umum DPP Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), dalam Seminar “REVITALISASI PERAN PEMUDA KRISTEN DALAM MEWUJUDKAN                            KEINDONESIAAN DALAM RANGKA PERINGATAN SUMPAH PEMUDA” ; yang diselenggarakan oleh FKIP UKI, di kampus UKI, Cawang, Jakarta. (31/10/15)

 

Menurut Baktinendra Prawiro, “Peran dan Fungsi Organisasi Kepemudaan Kristen dalam Mewujudkan Keindonesiaan” yang utama, adalah untuk tidak pernah lalai menanamkan, baik kedalam dan keluar, bagaimana proses Indonesia menjadi. Untuk selalu memahami apa yang menjadi konteks sejarah pada jaman itu, dan apa konteks yang ada di masa kini atau masa depan, di mana wawasan dan semangat yang sama perlu di-revitalisasi. Karena kita adalah penerus semua pejuang pendahulu kita pada umumnya, dan pejuang bangsa yang menganut iman kristiani khususnya. Untuk Indonesia yang telah mewujud dan masih menjadi itulah Sam Ratulangi, cendekiawan, visioner anggota PPKI dan gubernur Celebes pertama telah berjuang; Sutan Gunung Mulia (Harahap), tokoh Sumpah Pemuda, pendidik, pendiri STT, UKI dan BPK, penggagas DGI, pendiri Parkindo telah memberikan yang terbaik; J Leimena, dokter, mentri senior kabinet Soekarno, pendiri Parkindo dengan konsisten telah memberi pelayanannya; Ds Probowinoto, pendeta yang menarik GKJ keluar dari Gereja Zending, pendiri Parkindo telah menentukan pilihannya untuk Indonesia … dan TB Simatupang, KSAD TNI pertama, dan para pendiri GMKI, para pendiri PPKI & MPKO yang bergabung menjadi GAMKI, para pendiri PIKI,  mereka semua yang telah terpanggil dan menjawab panggilannya untuk bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Baca juga  Inklusi Iklim Butuh Partisipasi Masyarakat Sipil

 

Mereka yang disebut di atas, dan yang tidak disebut, tapi sesungguhnya tak terlupakan adalah tokoh-tokoh yang bekerja dan berjuang sejak usia muda. Bahkan ada yang sejak di bangku sekolah / kuliah. Mereka semua aktivis yang multi-dimensional, yang cinta Tuhan dan cinta nusa bangsa, memikirkan kebaikan semua, apapun agamanya. Mereka orang-orang yang menjadi teladan, yang menurut mars perjuangan politik ciptaan alm Dr Sukowaluyo, seorang senior GMKI & GAMKI, dikatakan: “Bersih dan Perduli, Kompeten Berkarakter, juangnya pasti jaya.”  Mereka, dan semoga kita semua,  adalah individual yang berjuang pada dimensi komunal, sosial, nasional bahkan internasional, yang selalu berusaha  memahami situasi kontekstual jamannya, dan bekerja dengan disiplin dan integritas seorang professional, dengan kasih kepada bangsa, dan dengan berpegang erat pada kedua tangan yang berlubang paku, tangan juruselamat yang membimbing dengan setia.”

Dari perspektif historis, papar Ketua Umum PIKI ini lebih lanjut,”Ada masanya ketika Wilayah Kepulauan yang sekarang dikenal dengan nama Republik Indonesia pernah disebut dengan nama-nama lain. Penguasa negeri Tiongkok menyebutnya Nan Hai (Kepulauan Laut Selatan), epos besar India Ramayana menyebutnya Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) dan pedagang-pedagang Arab menamakannya Jasa’ir Al Jawi. Berbagai nama digunakan oleh orang-orang Eropa, termasuk Belanda, di antaranya Hindia Timur, Kepulauan Hindia, Kepulauan Melayu dan terakhir Hindia Belanda (Nederland Indisch). Terutama setelah wilayah kepulauan ini secara bertahap dan pasti menjadi wilayah jajahan Belanda, melalui proses penaklukkan yang cukup panjang, selama 350 tahun hingga awal abad 20. Selanjutnya bisa dicatat pula beberapa nama yang muncul di akhir abad 19, termasuk di antaranya Insulinde yang diperkenalkan Eduard Douwes Dekker (Multatuli). Juga Nusantara yang digunakan oleh Ernest FE Douwes Dekker, yang berkonotasi Nusa Antara, atau Nusa di antara dua samudra dan dua benua. Akan tetapi nama yang kemudian melekat, dan seolah terpilih oleh kehendak sejarah, pada awalnya datang dari lingkungan peneliti / ilmiawan. Pada tahun 1850 , berdasarkan pertimbangan ilmiah, George Samuel Earl menawarkan pilihan antara Malayunesia dan Indonesia, akan tetapi ternyata rekan sekerjanya James Richardson Logan lebih menyukai pilihan yang kedua. Berikutnya pada tahun 1884 seorang ethnolog Jerman bernama Bastian mempopulerkan melalui bukunya nama Indonesia hingga akhirnya menjadi familiar di antara orang-orang Belanda, dan akhirnya di antara penduduk asli tanah jajahan ini sendiri. Demikianlah sejak dekade-dekade awal abad 20 nama resmi Hindia perlahan-lahan semakin tersaingi oleh nama Indonesia. Untuk waktu yang relatif pendek, yaitu semasa pendudukan Jepang, wilayah kepulauan ini disebut To–Indo, yang artinya Hindia Timur, tapi nama Indonesia sudah semakin berakar kuat di antara penduduk negeri.

Baca juga  Pelantikan 10 Tim Penggerak PKK Kecamatan Dilingkungan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat Berjalan Lancar dan Kondusif

MENJADI INDONESIA

Memasuki pertengahan abad 19 eksploitasi klasik oleh penjajah Belanda memasuki tahap yang lebih intensif dan ekstensif, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan swasta berskala besar, diikuti dengan pembangunan infrastruktur, terutama di Jawa dan Sumatra. Di penghujung abad 19 pendidikan umum juga dibuka untuk penduduk asli, baik oleh pemerintah Hindia Belanda (kebijakan etis) maupun oleh organisasi-organisasi swasta, termasuk dan terutama zending agama Kristen (disusul Islam hanya dua atau tiga dekade kemudian). Dengan sarana komunikasi yang semakin baik dan arus informasi yang semakin deras kaum terdidik bumiputra semakin mengenal bukan hanya daerah asalnya, akan tetapi juga seluruh wilayah Hindia / Indonesia. Dalam salah satu surat RA Kartini bahkan ada referensi tentang seorang pemuda yang cerdas asal Sumatra (HA Agus Salim). Lebih dari itu situasi negeri dan rakyat jajahan, dengan segala kemiskinan, keterbelakangan dan ketidak-bebasannya juga semakin dipahami oleh kalangan inteligensia pribumi. Bermunculan organisasi-organisasi bercorak proto-kebangsaan seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam (dan Sarekat Merah qq ISDV) yang dibentuk untuk memajukan bangsa. Bahkan pada tanggal 25 Desember 1912 telah didirikan Indisch Partij oleh EFE Douwes Dekker, Suwardi Surjaningrat & Dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang bertujuan membangun patriotisme bangsa Hindia, membangun kerjasama atas persamaan hak antara setap elemen bangsa, memajukan tanah air Hindia dan mempersiapkan kehidupan rakyat yang MERDEKA. Walaupun tidak berumur panjang gagasan-gagasannya menyebar keseluruh tokoh dan kalangan pemuda. Nama INDONESIA sebagai “rallying & unifying cry” semua elemen bangsa dari berbagai latar belakang semakin umum digunakan. Beberapa organisasi yang bisa disebut Biro Pers Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia di Belanda (1922), Studie Club Indonesia (1924) dan Kepanduan Nasional Indonesia (1925). Dua partai politik yang paling militan di masa itu juga telah memilih sebutan kebangsaan yang sama: Partai Komunis Indonesia (1924) dan Partai Nasional Indonesia (1927). Seperti kata pepatah latin VERITAS FILIA TEMPORIS (Kebenaran Merupakan Anak Jaman) Kerapatan Pemuda Pemudi Indonesia II atau Kongres Pemuda Indonesia II pada tahun 1928 semakin meneguhkan sebuah konsep dan gagasan politik kebangsaan sebagai KEBENARAN SEJARAH dalam proses menjadi, yaitu INDONESIA dengan lokasi (eks Hindia Belanda), identitas kebangsaan dan bahasa yang sama. Bahkan dengan bendera dan lagu kebangsaan yang kelak menjadi alat pengikat. Seperti Hatta mengatakan pada tahun 1922:

Baca juga  Gerakan “Pulih Kembali”: Ramai Masyarakat Donasikan ‘Uang Rokok’ untuk yang Terdampak Pandemi

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.

Itulah Indonesia, sebuah tanah air dan negara yang dicita-citakan dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat, dan untuk seluruh rakyat, apapun latar belakang, asal-usul dan adat-istiadatnya masing-masing. Sebuah negara yang diperjuangkan bukan dengan dasar paham-paham primordial apapun, termasuk agama manapun. Sebagaimana di kemudian hari juga ditegaskan melalui Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan UUD-nya, bahwa di negara Republik Indonesia yang bersatu, adil, makmur dan berdaulat, serta berdasarkan PANCASILA ini ada cita-cita bahwa keadilan bagi semua (iustitia omnibus) dan kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Konsekuensi dalam melihat setiap sila dalam Pancasila sebagai derivatif yang akumulatif dari sila-sila sebelumnya. Dengan demikian Sila Keadilan Sosial menjadi muara penghayatan, tujuan pengamalan dan pengejawantahan Pancasila.”

Tegas Baktinendra Prawiro, “Pemuda Kristen  saat ini harus tampil dalam kancah perjuangan bangsa dan masyarakat, termasuk dalam dunia kemahasiswaan, dengan kemampuan untuk menjadi dinamisator dan katalisator serta motivator, innovator dan evaluator yang dapat diandalkan. Akhirnya dalam melakukan “jiarah mental ke masa lalu” dan bertemu dengan sosok-sosok dari kalangan umat Kristen, yang bersama rekan-rekannya dari berbagai latar-belakang, telah mewujudkan, mempertahankan dan mengisi negara dan tanah air yang mereka junjung tinggi. Pemuda Kristen harus kembali kepada cinta yang mula-mula, yaitu: CINTA TUHAN, CINTA NUSA BANGSA DAN CINTA KEPADA SESAMA ANAK BANGSA”.

Pembicara-pembicara lain yang tampil dalam seminar ini antara lain Ayub Pongrekun, M.Si (Ketua Umum PP GMKI), Drs. Michael Wattimena, M.Si (Ketua Umum DPP GAMKI), Dra. Alida Handau Lampe, M.Si (Ketua Umum DPP Parkindo), Pdt. Dra. Lesye Soemampouw (Ketua Umum Sinode GPI), Pdt. Dr. Albertus Patty (Ketua  MPH PGI), Pdt. Dr. Nus Reimas (Tokoh Protestan Injili), Tio Sianipar, S.Pd (Ketua BPC GMKI Jakarta), Karten Halirat (Ketua Senat Mahasiswa FKIP UKI) ,Yosia (Ketua POUI) dan Maria Felicia Gunawan (PASKIBRA Nasional 2015). Moderator seminar antara lain Andre Nababan, S.Th.

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here