Oleh: Hotben Lingga
Jakarta, suarakristen.com.
“Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Meskipun merupakan unit terkecil, keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat dan bangsa. Karena masyarakat dan bangsa pada hakikatnya merupakan produk dari keluarga-keluarga yang ada. Nilai suatu bangsa pada dasarnya ditentukan oleh nilai yang berlaku dalam keluarga-keluarga yang menyusunnya.
Adanya korelasi yang kuat antara kondisi keluarga dengan kondisi masyarakat dan bangsa, tentunya membuat kita berharap bahwa keluarga Indonesia merupakan keluarga yang sehat dan kuat, yang pada akhirnya menghasilkan masyarakat, bangsa dan negara yang sehat dan kuat. Pada kenyataannya, saat ini kondisi keluarga di Indonesia memprihatinkan, tidak lagi menjadi jaminan tempat yang paling aman bagi anggota-anggotanya baik bagi perempuan maupun anak-anak. Kasus di dalam keluarga berulangkali kerap kita dengar, dimulai dari perceraian yang semakin meningkat, KDRT, kasus-kasus penelantaran anak, kekerasan terhadap perempuan dan anak, eksploitasi anak dan lain sebagainya. Kasus-kasus seputar keluarga Indonesia yang diangkat oleh media hanyalah segelintir saja dari apa yang dihadapi oleh keluarga Indonesia saat ini dan merupakan fenomena gunung es dari permasalahan-permasalahan lain yang lebih besar lagi.
Data-data statistik yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terpercaya di Indonesia memberikan bukti betapa memprihatinkan kondisi keluarga di Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat bahwa Indonesia memiliki angka perceraian tertinggi se-Asia Pasifik. Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) jumlah penguna narkoba di Indonesia semakin mengalami kenaikan. Tahun 2008 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,3 juta orang. Di tahun 2011 menjadi 3,8 juta orang dan di tahun 2013 naik menjadi lebih dari 4 juta orang. Menurut BNN, sebanyak 22 % pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar. Jumlah kasus dan kejadian tersebut di atas cenderung makin meningkat dan segala upaya yang telah dikerjakan masih belum membuahkan hasil yang nyata dan memberi harapan.
Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh keluarga Indonesia sangat berat, mulai dari arus globalisasi yang begitu deras, pergeseran nilai-nilai di masyarakat, nilai moral dan juga agama yang sudah tidak dijunjung tinggi dan dihidupi masyarakat, belum lagi tantangan internal di dalam keluarga seperti struktur dalam keluarga yang tidak tepat, peran antara suami dan istri, permasalahan ekonomi / kesejahteraan sosial, pola asuh yang tidak tepat, kenakalan remaja dan lain-lain
Gereja Bethel Indonesia (GBI) terpanggil memberikan kontribusi dalam upaya terbentuknya keluarga-keluarga yang kokoh dan harmonis. Untuk itu GBI telah melakukan langkah yang sangat bersejarah bagi perkembangan GBI yaitu dengan menetapkan Bulan Juni setiap tahunnya sebagai Bulan Keluarga GBI. Penyelenggaraan Bulan Keluarga GBI pada tahun 2015 ini menetapkan tema : “ Transformasi Gereja untuk Memulihkan Keluarga ( Yosua 24:15 )”demikian prakata siaran pers Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang ditanda-tangani oleh Ketua Umumnya Pdt. Dr. Japarlin Marbun, dalam Diskusi Panel dan Doa Bagi Keluarga dengan tema : “Selamatkan Keluarga Indonesia!” yang dilangsungkan pada tanggal 27 Juni 2015 di Jakarta, dimana tujuan dari acara ini adalah untuk menyerukan dan menghimbau setiap pihak yang terkait untuk lebih memperhatikan, memperlengkapi, dan mengupayakan untuk menjadikan keluarga dan rumah sebagai tempat teraman bagi anak.
Menurut Gereja Bethel Indonesia, keluarga dan rumah harus menjadi tempat teraman bagi anak dan anggota keluarga lainnya
Keluarga adalah tempat pembentukan manusia seutuhnya. Jika kita menghendaki manusia di Indonesia adalah manusia yang utuh, tangguh, dan sehat, maka sesungguhnya pusat pembentukan manusia seutuhnya tersebut adalah di keluarga dan rumah, dan bukan di lembaga / institusi lain seperti misalnya sekolah, tempat ibadah, dan tempat lainnya. Dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya tersebut, keluarga seharusnya menjadi pusat pembentukan iman, pendidikan karakter dan pusat mempersiapkan manusia produktif.
Manusia yang dihasilkan dari keluarga yang merupakan pusat pembentukan iman, pusat pendidikan karakter, pusat mempersiapkan manusia produktif, tentunya adalah manusia yang unggul. Namun demikian, pergeseran budaya saat ini menyebabkan tergerusnya peran keluarga, dimana peran keluarga secara sengaja atau tidak sengaja telah tercerabut dan diserahkan kepada lembaga lain di luar keluarga, seperti misalnya peran mendidik yang telah diserahkan kepada lembaga pendidikan / sekolah, peran pembentukan iman yang diserahkan kepada tempat ibadah, peran sebagai tempat yang paling menyenangkan telah diserahkan kepada tempat-tempat bermain di mal. Keluarga telah kehilangan peran dan fungsinya yang paling esensial.
Hal terpenting dalam pembentukan manusia seutuhnya tersebut adalah bahwa keluarga menjadi tempat paling aman bagi anggota-anggotanya, khususnya bagi anak-anak. Rasa aman tersebut akan menghasilkan anak-anak yang sehat dan utuh. Suatu ironi bahwa saat ini kita menyaksikan bahwa keluarga dan rumah justru menjadi tempat tidak aman bagi anak. Banyak kekerasan yang dialami anak, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran dan pengabaian, justru dialami oleh anak di dalam keluarga dan rumah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya. Pelaku kekerasan terhadap anakpun, seringkali adalah orang-orang terdekat anak tersebut, seperti misalnya orang tua anak, kakek nenek, saudara dan orang-orang yang berada di dalam rumah.
Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan di dalam rumah. Tekanan yang dialami oleh orang tua, permasalahan kesehatan mental yang dialami oleh orang tua, masa kecil orang tua yang penuh dengan kekerasan, tekanan ekonomi dalam keluarga, dan ketidakmampuan atau ketidaktahuan orang tua untuk menciptakan lingkungan rumah yang aman, merupakan contoh faktor yang menyebabkan orang tua dan orang-orang dalam keluarga dan rumah melakukan kekerasan terhadap anak. Peran orang tua adalah yang utama dalam menciptakan rasa aman di dalam rumah. Rasa aman bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah/natural. Orang tua harus mengerti bagaimana menciptakan rasa aman. Orang tua harus mempu memprediksi dan mengenali tanda tanda bahaya dan potensi timbulnya kekerasan terhadap anaknya. Sering terjadi bahwa orang tua tidak mengerti bahwa tindakan-tindakannya kadangkala membuat anak tidak merasa aman. Orang tua yang tidak konsisten dalam memberikan disiplin, orang tua yang secara emosional tidak stabil, keluarga tidak memiliki stabilitas ekonomi, dan hal lainnya akan menciptakan anak yang tidak memiliki rasa aman. Anak yang bertumbuh tanpa adanya rasa aman di rumah menghasilkan anak-anak yang terganggu dalam pertumbuhannya fisik dan psikis, imannya tidak bertumbuh secara baik, pengenalan akan Penciptanya menjadi terhalang dan terganggu kecerdasannya
Karena itu, menurut GBI, Keluarga perlu didukung dan diperlengkapi untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya
Keluarga perlu ditolong dan diperlengkapi. Dengan segala tantangan dan permasalahan yang dihadapinya, khususnya dalam rangka membentuk keluarga dan rumah sebagai tempat teraman bagi anak, tidak ada cara lain selain mendidik, memperlengkapi dan menolong keluarga. Ketidaktahuan keluarga dan ketidakterampilan keluarga ternyata menjadi faktor dominan ketidakmampuan keluarga menyediakan rasa aman bagi anak. Kita tidak dapat semata-mata menyalahkan keluarga dan lalu menghukum keluarga jika terjadi permasalahan yang ada, karena pada kenyataannya keluarga tersebut belum pernah diperlengkapi, dan ditolong untuk dapat menjadi keluarga yang baik dan kuat. Penegakan hukum (law enforcement) adalah hal yang baik dan perlu, namun apabila langkah penegakan hukum dilakukan tanpa adanya langkah-langkah preventif berupa edukasi, memperlengkapi dan menolong keluarga agar terampil, tentunya penegakan hukum tersebut tidak akan menjadi efektif dan tidak tuntas dalam menekan angka kekerasan terhadap anak di rumah dan keluarga. Baik pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan, badan-badan swasta, institusi pendidikan dan institusi lainnya perlu mendukung, menolong dan membina, dan memperlengapi keluarga agar dapat keluar dari situasi ketidakberdayaannya.
Oleh karena itu, berdasarkan paparan di atas, GBI mengusulkan beberapa butir rekomendasi sebagai berikut :
Pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan perhatiannya, menolong dan mendukung keluarga secara aktif, agar keluarga dapat menjadi tempat yang paling aman bagi anak
Pemerintah dan masyarakat perlu memberikan pendidikan bagi keluarga, agar keluarga menjadi keluarga yang terampil.
Perlunya dukungan menyeluruh, tidak parsial, yaitu meningkatkan koordinasi antar institusi terkait, dalam penanganan masalah keluarga.
Keluarga harus dijadikan subyek pembangunan untuk mewujudkan revolusi mental bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Para nara sumber dalam diskusi panel tersebut adalah Bambang Kristiono (Asisten Deputi Gender Dalam Iptek Deputi PUG Bidang Ekonomi Kementerian PP dan PA) mewakili Menteri Yohana Yambise, yang menyampaikan opening speech: Mieke Selfia Sangian (Inspektur Utama BKKBN Pusat), Arist Merdeka Sirait (Perlindungan Anak Indonesia/KPAI), Pdt. Dr. dr. Dwidjo Saputro, SpKJ (K), Ketua Pokja Keluarga Unggul BPH GBI: dan Pdt. Dr. Olly Mesakh.