Diskusi Bulanan INDEF: “Mau Kemana Industri Hasil Tembakau Pasca PMK 146/2017?”

0
684

Jakarta, Gramediapost.com

Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu industri nasional strategis yang mempunyai andil cukup besar dalam perekonomian Indonesia. IHT memiliki rantai bisnis yang luas  sehingga menciptakan nilai tambah sekaligus lapangan kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Apalagi, produk tembakau jenis kretek Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan dibanding produk IHT Negara lain. Di tengah ketergantungan impor bahan baku, IHT masih mampu menyerap bahan baku lokal (tembakau dan cengkeh) yang cukup besar. IHT satu-satunya industri yang paling besar kontribusinya bagi pendapatan negara melalui cukai dan pajak lainnya. Cukai merupakan penerimaan negara terbesar ketiga, dan 95 persen berasal dari Cukai Hasil Tembakau (CHT).

Besarnya potensi kontribusi CHT ini, menyebabkan kebijakan cukai yang semakin eksesif. Terlihat CHT justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan, daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok. Konsekuensinya, desain kebijakan cukai yang hampir setiap tahun berubah lewat instrumen PMK, berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan mengancam keberlangsungan IHT. Regulasi terbaru yaitu PMK 146/2017 cukup menjadi polemik bagi para stakeholder IHT. Pasalnya, PMK tidak hanya mengatur kenaikan tarif cukai, namun juga memunculkan suatu “peta jalan penyederhanaan struktur tarif cukai”. Padahal kewenangan PMK mestinya menetapkan CHT. Sementara peta jalan penyederhanaan struktur CHT  mestinya kewenangan dan melibatkan kementerian teknis, baik Kementerian Perindustrian maupun Pertanian. Padahal peta jalan struktur IHT Kementerian Perindustrian telah dicabut oleh putusan Mahkamah Agung (MA).

Atas dasar itu, INDEF menyelenggarakan diskusi dua bulanan dengan tema “Mau Kemana Industri Hasil Tembakau Pasca PMK 146/2017?”. Diskusi ini bertujuan mencari perspektif, solusi, dan alternatif kebijakan yang proporsional dan berkeadilan, agar peran strategis keberlanjutan IHT tetap optimal. Sebagai pemandu diskusi, berikut hasil kajian INDEF terkait evaluasi dan alternatif solusi terhadap permasalahan  IHT.

Kinerja IHT Vs Kontribusi CHT

Sampai 2017, kinerja IHT terus mengalami penurunan, namun kontribusi CHT selama 2007-2017 tumbuh 13,5 persen. Target CHT selalu lebih 100 persen  dari target APBN. Contoh 2008, realisasi CHT tembus Rp 49,9 triliun (112,1 persen).  Tahun 2010 CHT Rp 63,3 triliun dari target Rp 55,9 triliun (113,3 persen). Di tahun 2012 realisasi mencapai titik tertinggi sebesar 114,4 persen karena CHT terkumpul 90,6 triliun dari target Rp 79,9 triliun.

Namun mulai 2016  realisasi CHT tergerus, hanya Rp 137 triliun atau 96,7 persen. Tapi  2017 realisasi mencapai Rp 147,68 triliun atau 100,14 persen dari target. Penurunan pada 2016 disebabkan adanya forestalling atau menambah pembelian pita cukai dengan tarif yang lama untuk digunakan di tahun selanjutnya (ijon). Selanjutnya, Pemerintah kembali menaikkan tarif rata-rata tertimbang CHT 2018 sebesar 10,04 persen. Sebelumnya tarif CHT telah naik 11,2 persen di 2016 dan 10,5 persen di 2017

Baca juga  Ke Pulau Seribu Melalui Pelabuhan Kaliadem, 344 Penumpang Kapal Jalani Scan PeduliLindungi

Selama empat tahun, SKT mengalami penurunan produksi tertinggi. Rata-rata turun 6,1 persen per tahun. Penurunan terbesar pada SKT golongan II, rata-rata turun 10,3 persen per tahun.

Tantangan Industri Hasil Tembakau

IHT merupakan produk yang harus dikendalikan, sehingga high regulated. Karenanya persaingan diantara IHT sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah, seperti penetapan Harga Jual Eceran yang terkait dengan penetapan tarif cukai.

IHT di Indonesia cukup kompleks karena terdiri 3 jenis yaitu SKM, SKT, maupun SPM. Juga melibatkan berbagai struktur usaha, mulai dari kecil, menengah dan besar.

Kontribusi terbesar CHT  73,8 persen disumbang oleh 14 pabrik IHT jenis SKM. Jumlah pabrik tersebut hanya 2 persen dari keseluruhan pabrik IHT. Selanjutnya 10 persen penerimaan cukai disumbang oleh gabungan satu pabrik golongan IA dan 15 pabrik golongan IB jenis SKT. Untuk jenis SPM sendiri, 5,6 persen penerimaan cukai dihasilkan oleh hanya satu pabrik. Dari potret tersebut jika orientasi pemerintah hanya mengutamakan aspek penerimaan maka memang cukup dengan memberikan prioritas kebijakan terhadap keberlangsungan pabrikan besar. Namun konsekuensinya pelaku usaha golongan menengah kecil akan tersisih dan mati.

Fenomena munculnya rokok illegal tentu tidak dapat dipisahkan dari dampak persaingan industri yang sangat ketat diatur oleh pemerintah sehingga tidak berjalan secara alami. Intervensi pemerintah terletak pada seluruh rantai ekonomi mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi rokok.

Kemunculan rokok illegal dimulai dengan kebijakan kenaikan cukai yang esesif, sehingga memicu terjadinya “rekayasa” dalam sistem rantai pasok untuk mensiasati Harga Jual Eceran rokok.

Ketiadaan roadmap yang jelas, membuat kebijakan IHT sering inkonsisten atau berubah-ubah sehingga membingungkan dan memberikan ketidakpastian pelaku usaha.

Peta Jalan Penyederhanaan Struktur Cukai IHT PMK 146/2017

Selain mengatur kenaikan tarif CHT seperti biasanya, dalam PMK 146 juga mengatur suatu “roadmap simplifikasi struktur tarif CHT”. Dalam aturan tersebut, proses simplifikasi akan dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 2018-2021 untuk golongan SKM, SKT, dan SPM. Sebelumnya (2015-2017) jumlah struktur CHT sebanyak 12 layer, pada 2018 akan menjadi 10 layer. Selanjutnya, secara berturut-turut 2019 menjadi 8 layer, 2020 menjadi 6 layer, dan akhirnya di 2021 menjadi 5 layer.

Baca juga  Lakukan Sambang, Kapospol Pulau Lancang Kepulauan Seribu Selatan, Ajak Warga Jaga Sitkamtibmas Tetap Kondusif

Rencana Pemerintah adalah tahapan penggabungan layer dilakukan terlebih dahulu dengan mendekatkan tarif antar layer yang akan digabung (merge), setelah gap atau selisih tarifnya kecil, layer tersebut digabung. Tidak hanya itu, produk hasil tembakau yang diproduksi menggunakan mesin (SKM dan SPM) juga akan digabung sehingga tarif keduanya akan sama pada 2020. Kebijakan ini tentu cukup mengagetkan sebagian besar pelaku IHT. Penggabungan  struktur cukai tersebut tentu akan berdampak langsung pada struktur persaingan dan keberlanjutan IHT terutama golongan menengah kecil.

Penggabungan SKM golongan IIA dan IIB di 2019 tentu berimplikasi langsung bagi golongan IIB. Dimana golongan IIA yang notabene pabrik dengan skala yang lebih besar. Pada 2016 terdapat 148 pabrik golongan IIB sedangkan golongan IIA hanya 84 pabrik.

Beberapa skenario kemungkinan mengenai dampak penggabungan struktur tarif SKM golongan IIA dan golongan IIB antara lain:

Akan terjadi aksi korporasi di antara para pelaku usaha golongan IIB dengan cara membangun holding  atau merger antara satu dengan yang lainnya sehingga skala produksi dapat terpenuhi dan kontinuitas bisnis dapat berjalan.

Akuisisi oleh pelaku usaha di golongan IIA terhadap perusahaan golongan IIB yang produksinya sangat kecil, namun industri ini semakin terancam dengan keberadaan asing mengingat modal mereka yang lebih kuat.

Dampak negatif yang paling tidak diharapkan adalah para pelaku usaha di golongan IIB beralih ke produksi rokok ilegal yang tentu semakin merugikan pemerintah

Penggabungan SKM dan SPM di 2020 juga dapat menimbulkan efek negatif. Meski dihasilkan oleh mesin, SKM dan SPM tetap berbeda secara prinsip. SKM merupakan kretek, rokok yang menggunakan bahan baku cengkeh dan tembakau lokal, adalah ciri khas budaya Indonesia sehingga tidak bisa disamakan dengan “rokok putih” yang notabene bahan baku dan jenis produknya berasal dari luar Indonesia. Penggabungan ini justru cenderung mematikan potensi SKM yang menyerap bahan baku lokal dan padat karya, serta berpotensi menjadi produk andalan ekspor.

Pertimbangan dan Alternatif Kebijakan Cukai IHT

Terdapat beberapa pertimbangan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam melakukan simplifikasi CHT

Baca juga  Apkasi Ajak Daerah Siapkan Program Penguat Stimulus Ekonomi Tangani Covid-19

Industri hasil tembakau di Indonesia sangat beragam dari aspek modal, jenis, hingga cakupan pasar.

Jangan sampai menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat melalui praktek oligopoli bahkan monopoli.

Perlindungan bagi industri hasil tembakau skala kecil dan menengah.

Tindakan preventif terhadap menjamurnya rokok illegal.

Keberlangsungan lapangan pekerjaan bagi para tenaga kerja dan pelaku yang terlibat langsung maupun tidak langsung terhadap industri tembakau.

Mengutamakan dan menjamin serapan bahan baku lokal (local content) baik tembakau maupun cengkeh sebagai wujud perlindungan bagi petani dari gempuran bahan baku impor. Terutama melalui peningkatan produkstifitas, sehingga mengurangi ketergantungan bahan baku impor

Melestarikan ciri khas hasil tembakau Indonesia yakni kretek.

Alternatif kebijakan yang tepat agar IHT dalam negeri masih dapat bertahan dan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi nasional.

Menyusun alternatif struktur CHT yang berkeadilan berdasarkan roadmap jangka panjang IHT. Sebagai alternatif dapat manambahkan komponen tenaga kerja, bahan baku lokal (TKDN) serta nilai budaya.

Kepastian harga tembakau petani, dengan membangun pola kemitraan langsung, antara perusahaan rokok dengan petani tembakau.

Konsep dasar dari persaingan usaha yang sehat perlu dilihat secara lebih mendalam oleh pemerintah agar tidak terjebak pada pendekatan modal saja. Karena jika menggunakan pendekatan modal, tidak ada bedanya dengan konsep pajak. Padahal dalam cukai yang menjadi objek adalah pengendalian produksi barang (IHT), bukan sekadar besar kecilnya modal perusahaan

Menetapkan roadmap penyederhanaan struktur tarif dan strata cukai hingga 2021 dengan mempertimbangan kesiapan pelaku IHT, khususnya golongan kecil dan menengah, agar dapat bertahan dan menciptakan persaingan usaha yang sehat

Perlu dibuat roadmap setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur penyederhanaan tarif CHT, melibatkan kementerian teknis terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Perdagangan agar kebijakan dapat memperhatikan aspek industri, pendapatan negara, dan ekonomi secara keseluruhan.

Perlu segera mengimplementasikan ekstensifikasi cukai bagi barang dan/atau jasa yang menimbulkan eksternalitas negatif di masyarakat, baik dalam konteks kesehatan, lingkungan, maupun ketertiban sosial. Ekstensifikasi akan menambah potensi penerimaan cukai, sehingga tidak hanya bergantung pada CHT.

Memberikan insentif dan fasilitasi ekspor produk IHT.

c)    Perlu studi mendalam dan komprehensif terkait rencana roadmap simplikasi struktur CHT ini.  Kajian dapat dilakukan oleh konsorsium lembaga riset independen, juga melibat seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here