Mengorbankan Rakyat untuk Maksud yang Terselubung.

0
686

 

 

 

Oleh:  Jeannie Latumahina

 

Seperti tiada hentinya kelompok anti pemerintah yang haus kekuasaan berusaha mendiskreditkan pemerintah dengan segala cara.

 

Segala strategi diupayakan tanpa perduli etika berpolitik dengan santun dan dengan menghormati kaidah kepatutan dalam bernegara.

 

Rasanya seperti menyaksikan drama dari kisah Kaisar Nero yang membakar sendiri kota Roma tanpa perduli berapa banyak rakyat jadi korban demi ambisi kekuasaan.

 

Kebakaran Besar Roma dimulai pada malam tanggal 18 Juli tahun 64, dimulai dari pertokoan di sekeliling Circus Maximus, Roma. Banyak orang Roma yang tinggal di rumah kayu sehingga api dengan cepat merambat.

 

Api tersebut hampir berhasil dipadamkan setelah lima hari namun kembali menyala. Api tersebut membakar Roma selama enam hari tujuh malam. Kebakaran tersebut membakar habis empat dari empat belas distrik di Roma dan tujuh lainnya mengalami kerusakan parah, termasuk juga Istana Nero, dan kuil peribadatan juga hancur dalam kebakaran itu.

 

Menurut sejarawan Tacitus, dan juga sebagian dari masyarakat menganggap Kaisar Nero bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

 

Dan untuk keluar dari pertanggung jawaban terhadap Senat, dari masalah itu Kaisar Nero mempersalahkan orang Kristen sebagai biang keladi dan akhirnya  dibantai di arena gladiator.

 

Taktik kotor tanpa mengenal etika ini tampaknya terasa digunakan dalam acara pembagian sembako di Monas beberapa hari yang lalu.

 

Dengan menggunakan jaringan melalui RT/RW mengabarkan akan ada acara pembagian sembako kepada rakyat. Namun dengan menggunakan simbol-simbol yang digunakan oleh lawan politiknya.

 

Menggunakan warna-warna yang menjadi idiom simbol dari lawan, ditambah rumor akan dihadiri oleh Presiden.

 

Kontan saja pagi-pagi rakyat jelata dan lugu pergi berbondong bondong ke Monas, dengan membawa kupon dan ingin melihat wajah Presiden yang dicintainya, berikut dengan memakai kaos berwarna merah seperti yang diminta oleh penyelenggara acara pembagian sembako.

Baca juga  Menghadang Upaya Pembodohan - Kelangkaan Minyak Goreng

 

Berlangsungnya acara tentu saja tidak seperti yang diharapkan oleh rakyat yang menunggu berdesak-desakan diterik matahari panas, berdesak desakan tanpa ada kejelasan kapan dan bagaimana tanpa ada kesiapan dari penyelenggara bahkan tanpa sound sistem memadai untuk mengatur ratusan ribu rakyat yang datang.

 

Bahkan siapa penyelenggara acara seakan hilang ditelan bumi, konon kabarnya adalah kelompok yang sama dari acara Paskah di Monas yang sarat dengan muatan politik sehingga akhirnya dengan desakan dipindahkan dari Monas.

 

Padahal sebelumnya sempat tersiar kabar pemberitahuan dengan menggunakan kop surat dari Pemprov DKI

 

Tentunya dengan segala atribut yang digunakan akan dapat mengumpulkan massa datang berduyun duyun, dan ini jelas akan sangat beresiko jika ratusan ribu orang berkumpul pada satu titik namun tanpa koordinasi yang baik.

 

Apakah ini kelalaian atau kesengajaan untuk mencapai tujuan tersembunyi, sebagaimana dahulu Kaisar Nero membakar kota Roma

 

Rakyat yang berkumpul di Monas bertanya tanya siapa penyelenggara dan caci makian terhadap pemerintah terdengar diantara lautan manusia.

 

Dengan kesigapan aparat keamanan akhirnya tidak ada jatuh korban dalam acara tersebut. Namun dapat dibayangkan jika kondisi panas tidak segera diantisipasi dengan cermat oleh aparat. Terimakasih tentunya kepada Kepolisian Polda Jaya dan aparat terkait sehingga tidak ada korban jatuh.

 

Tidak puas dengan usaha usaha untuk membelah rakyat bangsa Indonesia. Keesokan harinya pada saat Car Free Day (CFD) dilakukan kegiatan untuk memanaskan situasi dengan kampanye teroganisir dengan memakai kaos berhastag  “Ganti Presiden” dengan dimotori oleh salah satu parpol oposisi.

 

Bagaimana tidak disebut teroganisir jika sebelumnya juga beredar video konsolidasi parpol oposisi atas jalannya kampanye kaos tersebut.

Baca juga  Prospek Alkitab Cetak di Jaman Now

 

CFD yang seharusnya menjadi ajang silahturahmi rakyat bersama keluarga, turut dikotori dengan perilaku intimidasi terhadap rakyat pendukung pemerintah. Bahkan dalam video yang viral di medsos terlihat jelas bagaimana intimidasi tersebut berlangsung.

 

Dan bagaimana seorang ibu bersama anaknya mengatakan “Jangan takut nak, kepada orang JAHAT jika benar”

 

Demikian juga terlihat wajah-wajah yang konon adalah oknum parpol oposisi dalam kisah intimidasi pada saat CFD berlangsung, termasuk melambai-lambaikan uang dimuka wajah rakyat pendukung pemerintah.

 

Politik, pada hakikatnya berkarakter konfliktual. Mengapa? Karena begitu banyak kelompok yang bertarung merebut kekuasaan untuk meraih tujuannya, atas nama kesejahteraan publik.

 

Siapapun publik yang diwakili, dalam alam demokrasi, semuanya punya kebebasan dan kesetaraan hak dan kewajiban. Ada hukum yang mengaturnya.

 

Mengapa ini penting? Karena politik penuh pertarungan kepentingan dan banyak perbedaan di antara banyak kelompok dan orang. Tetapi pada saat yang sama, politik mensyaratkan orang atau kelompok yang bertarung agar mempunyai kapasitas bernegosiasi, mengelola konflik.

 

Kegagalan dan kegagapan mengelola konflik berujung pada kekerasan baik fisik maupun verbal. Orang atau kelompok yang cenderung melakukan kekerasan untuk meraih kekuasaan bukan pemimpin yang bijaksana tapi Despotis (pemimpin yang  jahat).

 

Secara etika, pertama, perilaku politik harus mengikuti hukum yang diatur negara. Kedua, hormati kebebasan orang memilih pemimpinnya. Ketiga, hindari penggunaan kekerasan baik verbal maupun fisik dalam politik. Kesantunan berbahasa dan berperilaku dalam Politik sangat menunjukkan seseorang beradab atau tidak. Keempat, tawarkan gagasan untuk perubahan sosial yang lebih baik, bukan dengan caci maki atau kekerasan.

 

Secara sosiologis,  tontonan yang sangat tidak mendidik dari persaingan politik, akan membuat masyarakat semakin anti terhadap politik. Ini yang berbahaya. Kalau masyarakat anti dengan politik atau terdepolitisasi, maka sulit bagi kita untuk membangun masyarakat sipil yang kuat, yang bisa menerima perbedaan sekaligus menemukan kesamaan sebagai manusia, sulit juga menemukan masyarakat yang bisa mengontrol kekuasaan, mencegah otoritarianisme.

Baca juga  Indonesia Adalah Keberagaman Budaya Yang Dirajut Menjadi Satu

 

Kediri 30 April 2018