Pdt. Weinata Sairin: “Leve fit quod bene fertur onus. Beban yang dipanggul dengan kerelaan hati akan menjadi lebih ringan”.

0
584

Hidup manusia di dunia fana dengan tingkat turbulensi yang amat tinggi tidak selalu berada dalam kondisi yang indah, nyaman dan menyenangkan. Setiap hari bahkan setiap saat dunia yang kita hidupi dalam level apapun menampilkan potret kekerasan dalam berbagai bentuknya. Mulai dari pembunuhan orang tak berdosa, kekerasan seksual, KDRT, terorisme, perampokan, penculikan, penganiayaan bahkan sampai pada pembakaran seorang yang diduga mencuri pengeras suara. Sisa-sisa paganisme dan barbar dari zaman baheula tatkala manusia belum mengenal Tuhan ternyata bisa muncul sebagai ‘interupsi’ dalam sebuah peradaban modern. Dan realitas itu terjadi hampir berulang-ulang baik dikota besar maupun di wilayah-wilayah yang selama ini dianggap “aman”.

Realitas kekerasan yang terjadi di bumi Indonesia sebenarnya bertentangan secara diametral dengan hakikat NKRI sebagai negara berdasarkan Pancasila yang warganya adalah penganut agama yang saleh. Kekerasan dan kejahatan yang terjadi mencerminkan bahwa nilai agama tidak menjadi roh yang mengendalikan kedirian seseorang. Agama telah diposisikan sebagai *status* seseorang dan belum menjadi kaidah serta rambu-rambu yang mengatur perjalanan hidup manusia ditengah kekinian dunia.

Kondisi ini terjadi sudah lama sebenarnya, tatkala agama yang luhur dan mulia itu diposisikan nyaris seperti ‘pelengkap’ dan atau ‘kosmetik’ dalam kedirian manusia. Ajaran agama tidak berfungsi sebagai pemandu atau nafas, roh dari kehidupan manusia. Ada kondisi ketika manusia berjalan pada ‘jalur X’ sementara agama berada pada ‘jalur Y’ dan kedua jalur itu tidak berada pada konteks interaksi yang optimal bahkan cenderung berjalan sendiri-sendiri.

Adalah seorang Soedharmono dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden yang berpidato disuatu kesempatan tentang kondisi seperti itu. Pak Soedharmono pernah berucap “rumah-rumah ibadah dipenuhi oleh mereka yang beribadah namun penjara-penjara juga bertambah penuh” demikian ungkapan pak Wapres dalam narasi yang lebih jelas.

Baca juga  Wariskanlah Perintah "Mengasihi Allah"

Pidato tersebut sebenarnya memberikan pengingatan kepada seluruh warga bangsa bahwa keberagamaan kita mestinya sebuah keberagamaan yang utuh, *kaffah*yang tidak terkotak-kotak. Upaya untuk mewujudkan keberagamaan yang utuh, solid telah dilakukan sejak lama antara lain dengan membarui metodologi pembelajaran agama di lembaga pendidikan, peningkatan pembinaan spiritualitas di lembaga-lembaga keagamaan.

Keberagamaan yang kukuh dan utuh amat diperlukan dalam menghadapi kehidupan yang makin sulit. Setiap hari kita semua menghadapi persoalan hidup dalam berbagai bentuk dan bobot. Acapkali kita bertemu dalam kenyataan ada orang yang sanggup dan tabah menghadapi persoalan hidup namun ada juga yang tidak mampu bahkan tergolek dikalahkan oleh derita yang mendera. Andai setiap orang kukuh dan *firm* dalam mewujudkan keberagamaannya, maka ia sanggup menghadapi guncangan persoalan hidup, yang menjadi beban berat dalam kehidupan setiap orang.

Pepatah yang dikutip dibagian awal menyatakan bahwa “beban yang dipanggul dengan kerelaan hati akan menjadi lebih ringan”. Kerelaan hati menjadi kata kunci yang penting dalam menanggul beban kehidupan. Hati yang rela, yang ikhlas, akan membantu meringankan beban derita yang ada. Hati yang rela bukan berarti “nrimo saja takdir yang ada” tetapi adanya semangat dan spirit untuk menghadapi beban pergumulan hidup dengan energi spiritualitas.

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here