Hidup Bermartabat

0
958

Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi

 

Ester 1:9-21

(9) Juga Wasti, sang ratu, mengadakan perjamuan bagi semua perempuan di dalam istana raja Ahasyweros. (10) Pada hari yang ketujuh, ketika raja riang gembira hatinya karena minum anggur, bertitahlah baginda kepada Mehuman, Bizta, Harbona, Bigta, Abagta, Zetar dan Karkas, yakni ketujuh sida-sida yang bertugas di hadapan raja Ahasyweros, (11) supaya mereka membawa Wasti, sang ratu, dengan memakai mahkota kerajaan, menghadap raja untuk memperlihatkan kecantikannya kepada sekalian rakyat dan pembesar-pembesar, karena sang ratu sangat elok rupanya. (12) Tetapi ratu Wasti menolak untuk menghadap menurut titah raja yang disampaikan oleh sida-sida itu, sehingga sangat geramlah raja dan berapi-apilah murkanya. (13) Maka bertanyalah raja kepada orang-orang arif bijaksana, orang-orang yang mengetahui kebiasaan zaman — karena demikianlah biasanya masalah-masalah raja dikemukakan kepada para ahli undang-undang dan hukum; (14) adapun yang terdekat kepada baginda ialah Karsena, Setar, Admata, Tarsis, Meres, Marsena dan Memukan, ketujuh pembesar Persia dan Media, yang boleh memandang wajah raja dan yang mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam kerajaan –, tanya raja: (15) “Apakah yang harus diperbuat atas ratu Wasti menurut undang-undang, karena tidak dilakukannya titah raja Ahasyweros yang disampaikan oleh sida-sida?” (16) Maka sembah Memukan di hadapan raja dan para pembesar itu: “Wasti, sang ratu, bukan bersalah kepada raja saja, melainkan juga kepada semua pembesar dan segala bangsa yang di dalam segala daerah raja Ahasyweros. (17) Karena kelakuan sang ratu itu akan merata kepada semua perempuan, sehingga mereka tidak menghiraukan suaminya, apabila diceritakan orang: Raja Ahasyweros menitahkan, supaya Wasti, sang ratu, dibawa menghadap kepadanya, tetapi ia tidak mau datang. (18) Pada hari ini juga isteri para pembesar raja di Persia dan Media yang mendengar tentang kelakuan sang ratu akan berbicara tentang hal itu kepada suaminya, sehingga berlarut-larutlah penghinaan dan kegusaran. (19) Jikalau baik pada pemandangan raja, hendaklah dikeluarkan suatu titah kerajaan dari hadapan baginda dan dituliskan di dalam undang-undang Persia dan Media, sehingga tidak dapat dicabut kembali, bahwa Wasti dilarang menghadap raja Ahasyweros, dan bahwa raja akan mengaruniakan kedudukannya sebagai ratu kepada orang lain yang lebih baik dari padanya. (20) Bila keputusan yang diambil raja kedengaran di seluruh kerajaannya — alangkah besarnya kerajaan itu! –, maka semua perempuan akan memberi hormat kepada suami mereka, dari pada orang besar sampai kepada orang kecil.” (21) Usul itu dipandang baik oleh raja serta para pembesar, jadi bertindaklah raja sesuai dengan usul Memukan itu.

Baca juga  Kemenangan Allah Dinyatakan Bagi Manusia

 

Kisah tentang Wasti ini terjadi kurang lebih 500 tahun sebelum Kristus lahir. Kisah ini terjadi di Persia (Irak dan Iran sekarang). Saat itu Persia di bawah pemerintahan seorang raja yang kaya dan perkasa. Dalam sejarah umum raja ini dikenal dengan nama Xerxes. Dalam Kitab Ester ia disebut Ahasyweros. Wilayah kekuasaannya luas, membentang dari India sampai ke Etiopia.

Seperti orang sukses pada umumnya, Ahasyweros terserang penyakit ‘suka pamer’ (megalomania). Ia selalu mau membuktikan bahwa ialah yang terbesar, paling berkuasa dan paling hebat.

Karena penyakit ‘suka pamer’ ini, Ahasyweros suka bikin pesta. Sekali waktu ia buat pesta besar selama 180 hari (= 6 bulan). Selama pesta itu ia pamer kekayaan. Bukan Cuma kekayaan, ia juga pamer istri. Dalam ayat 11 Ahasyweros menyuruh supaya mereka membawa Wasti, sang ratu, dengan memakai mahkota kerajaan, menghadap raja untuk memperlihatkan kecantikannya kepada sekalian rakyat dan pembesar-pembesar, karena sang ratu sangat elok rupanya.

Tapi Wasti menolak. Lalu apa yang terjadi? Wasti dipecat. Dengan pemecatan ini Ahasyweros mau tunjukan kepada orang banyak, ia berkuasa dan ia dapat memecat sang ratu.

Mengapa Wasti menolak? Bukankah seharus ia tunduk kepada suaminya? Bukankah ia memang cantik dan patut dibanggakan di depan rakyat? Tapi di sinilah soalnya mengapa Wasti menolak. Wasti menolak karena ia tidak mau dijadikan ‘barang cantik’ saja. Ia bukan sekedar ‘milik’ yang dibanggakan. Ia ingin diperlakukan sebagai pribadi yang punya martabat dan harga diri. Dia tidak mau orang mengagumi kecantikannya tapi tidak menghargai hargai dirinya. Dia adalah pribadi yang punya hati dan jiwa, bukan sekedar tubuh yang sensual.

Penolakan Wasti adalah tindakan yang patut diberi makna. Sadar atau tidak sadar, sering kita menilai dan mengukur orang dari sisi luarnya. Yakobus 2:1 berkata: “Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.”

Baca juga  Relakah Kita Membasuh Kaki Orang Lain?

Di hadapan Tuhan, semua manusia adalah sama. Dia adalah pribadi yang berharga. Dia berharga bukan karena dia miskin atau kaya, cantik atau jelek, tua atau muda, laki-laki atau perempuan. Lebih jauh lagi, dia (apakah anak, istri, suami, bawahan) adalah pribadi yang punya harga diri dan bukan barang milik yang diperlakukan dengan sewenang-wenang.

Kembali kepada soal Wasti, mungkin kita berkata: mestinya Wasti itu bersikap lebih bijak. Tidak setuju sih okey-okey saja, tapi yang sopan dikit dong penolakannya.

Tentu kita setuju bahwa sopan santun itu perlu. Artinya jangan asal menghantam. Apalagi kalau kita hubungkan dengan budaya kita di Indonesia, santun itu perlu. Tapi jangan juga saking santunnya, kita biarkan kesewenang-wenangan berjalan terus. Dan, kita juga harus fair dong! Jangan cuma menuntut Wastinya saja yang harus sopan. Bukankah Ahasyweros juga harus dituntut bersikap arif, jangan menjadikan orang lain sebagai ‘barang milik’?

Sosok Wasti memang tidak masuk dalam deretan tokoh-tokoh beriman dalam Alkitab, tetapi sikap dan keberaniannya patut menginspirasi hidup beriman kita. Manusia tidak boleh dinilai dan diukur dari sisi luarnya. Yang lebih Alkitabiah lagi, manusia tidak boleh memandang muka. Jika ia cantik ia dilebih-lebihkan, dan jika jelek dinomor duakan atau bahkan dinomor sepuluhkan.

Penolakan Wasti mengingatkan kita martabat itu lebih penting dari pangkat. Amsal 22:1 dengan jelas menyampaikan: “Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here